Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa harga BBM sudah naik ke angka 8,500 rupiah per liter untuk bensin premium dan 7,500 rupiah untuk solar.
Berbeda dengan proses kenaikan BBM di era SBY, di pemerintahan Jokowi jumlah pro dan kontra nyaris sebanding. Dinamika partai politik pengusungpun tak sepenuhnya bulat mendukung kenaikan. Entah apakah by design atau memang murni aspirasi pribadi, beberapa politisi pendukung Jokowi menyuarakan menolak kenaikan.
Atmosfir pilpres masih kental seolah kampanye belum usai. Pendukung Jokowi hampir semuanya mendukung kenaikan BBM, sementara yang tidak memilih Jokowi pada pilpres lalu punya kesempatan untuk menyindir atau nyinyir, sekedar menyampaikan kekesalan pada rekan-rekan pendukung Jokowi.
Di balik drama kenaikan BBM ini, ada bumbu penyedap berupa isu yang membentuk opini publik bahwa sebenarnya pemerintah tidak perlu menaikkan BBM.
Wakil mentri keuangan Malaysia, Ahmad Maslan diberitakan oleh banyak media di Indonesia terkait komentarnya, bahwa beliau akan mengemukakan rencana penurunan harga BBM.
Sontak berita tersebut disambut meriah, mungkin karena kita terlalu sering mendengar berita negatif jika berhubungan dengan Malaysia. Entah berita tersebut benar atau tidak atau apakah ada berita yang disampaikan sepotong, namun yang jelas jauh sebelum berita ini mencuat, 'rakyat oposisi' di Malaysia sudah memprotes dan menuntut penurunan harga BBM.
Namun perdana mentri Najib Tun Razak seolah tidak mendengar pertanyaan tersebut dan mentri perdagangan dalam negeri, Hasan Malek menyatakan tidak bisa menurunkan harga BBM. Harga RM 2.30 (8,500 rupiah) akan tetap berlaku setidaknya sampai Juni 2015. Jadi sebenarnya komentar Ahmad Maslan terlalu didramatisir oleh media dalam negeri dengan judul "Malaysia bersiap turunkan BBM". Padahal kalau mau jujur, komentarnya tak beda jauh dengan politisi pendukung Jokowi yang menolak kenaikan BBM.
Persis seperti saat Jokowi masih sedang kampanye, Perdana Mentri Malaysia memang tidak bisa menjanjikan BBM turun meski rakyat pendukungnya banyak menginginkan hal tersebut. Malah Najib Tun Razak secara terbuka menyampaikan akan menaikkan harga BBM secara bertahap 20 sen setiap 6 bulan sekali. Walaupun sainganya Anwar Ibrahim sudah dengan berani menyatakan "hari ini partai oposisi menang, besok BBM dan tol turun" tetap saja tidak bisa mengalahkan partai pemerintah dan Najib tun Razak secara otomatis tetap menjadi Perdana Mentri Malaysia.
Ini berbeda dengan Prabowo yang tetap rasional saat kampanye. Beliau juga sempat menyatakan akan menaikkan harga BBM di atas 10,000 bahkan beberapa media mencatat 12,000 rupiah sebagai angka ideal. Tapi saat Jokowi menaikkan harga BBM menjadi 8,500, masyarakat yang tidak mendukungnya seolah lupa bahwa siapapun yang jadi presiden, menaikkan BBM adalah keniscayaan di negara importir.
Politik tanah air yang sedemikian dinamis menimbulkan banyak polemik. Mungkin kita juga masih ingat ketika banyak 'orang atas' menginginkan SBY untuk menaikkan harga BBM. Tentu dengan bebagai alasan. Namun SBY dengan gagahnya menolak dan bahkan seolah 'memprovokasi publik' bahwa ada intervensi dari kalangan luar istana.
Kejadian tersebut menjadi menarik karena Malaysia menaikkan harga BBM pada 2 Oktober lalu. Mungkin ini juga enggan dibahas oleh media kita, karena hanya ingin memberitakan sesuatu yang bombastis dan terkesan membodohi. Malaysia justru menaikkan BBM saat harga minyak dunia sedang dalam tren menurun secara berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir.
Beban menjadi rakyat Malaysia tidak hanya 'hadiah buruk' kenaikan BBM, karena tidak lama sebelum menaikkan BBM Perdana Mentri Malaysia menetapkan bahwa GST 6% (Goods and Services Tax) akan diberlakukan pada April 2015. Sedikit tentang GST, barang-barang yang terlibat tentunya adalah RON95, Diesel, LPG, listrik di atas 300kwh, buah lokal dan impor, roti, teh, kopi, mie, 30 jenis penyakit dan bahkan koran serta media.
Jika difahami secara menyeluruh, selain berencana terus menaikkan BBM Malaysia juga berencana meningkatkan pendapatan negara melalui GST. Berhubung rencana pemerintah Malaysia menetapkan harga BBM RM 2.30 (8,500 rupiah) sampai Juni 2015 maka memang ada kemungkinan BBM kembali dinaikkan menjadi RM 2.50, 2 bulan setelah GST diberlakukan. Jadi selain kenaikan harga barang pokok yang termasuk dalam GST, pemerintah Malaysia masih ada kemungkinan kembali mengurangi subsidi BBMnya yang secara 'adat' akan menaikkan harga barang.
Dari kalkulasi sederhana, bisa kita lihat sebenarnya Malaysia juga kewalahan untuk menaikkan harga BBM. Namun karena ingin ada variasi, kemudian diberlakukanlah GST. Meskipun rencana ini sudah direncanakan akan berlaku sejak 2011, namun baru bisa dilaksanakan pada 2015. Ya ini hanya logika pribadi saya saja.
Keputusan pemerintahan Jokowi menaikkan BBM saat ini justru sebenarnya adalah keputusan yang terlambat. Meski memang keputusan SBY tetap menahan agar BBM tidak naik di akhir jabatanya juga tidak bisa dibilang kesalahan. Secara psikologi, hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas emosi masyarakat karena selain masa pilpres, karena saat itu kita sedang menyambut hari besar idul fitri dan tahun ajaran baru. Tapi menarik untuk menyimak pernyataan Faisal Bashri bahwa dalam 9 tahun terakhir subsdidi BBM kita lebih besar dari defisit APBN. Secara tidak langsung bisa dikatakan subsidi BBM kita didapat dari hutang pemerintah. Bisa dibaca pada tulisanya berjudul "memaknai tim pemberantasan mafia migas" di kompasiana.
Dukungan dan harapan rakyat yang sangat besar terhadap Jokowi bisa dijadikan alasan mengapa seolah pemerintah terburu-buru menaikkan BBM, padahal mereka baru saja menjabat. Selain faktor psikologis, pastinya ada 'hitung-hitungan' berupa angka-angka yang bisa membuat tulisan ini menjadi beberapa episode. Tapi sebelum kita sama-sama pusing dan harus membuka buku-buki tebal, saya akan coba menjelaskan sesederhana mungkin mengapa BBM justru naik padahal harga minyak dunia turun? Pertanyaan ini juga banyak diperbincangkan oleh rakyat Malaysia yang sayangnya mereka lebih suka menghujat daripada berpikir. Ya sama lah seperti kita.
Jelas kita tidak bisa mengabaikan harga minyak dunia yang turun, meski sebagian pendukung Jokowi terkesan acuh dengan dalih bahwa harga minyak dunia bukanlah harga BBM di negeri ini, karena saat ini kita disubsidi. Kalau kata bung Rhoma, gali lobang tutup lobang. Walau bagaimanapun sejarah mencatat harga minyak dunia tersebut selalu menjadi alasan -atau katakanlah kambing hitam- dari naiknya harga BBM dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar